Jumat, 22 Februari 2013

SUSTAINABLE BUILDING, ECO-DESIGN



Sustainable building adalah bangunan yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan sekecil mungkin dampakya terhadap lingkungan, atau justru membuat dampak positif terhadap lingkungan, seraya meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan kualitas hidup penghuni / pemakainya. (lighthouse sustainable building center;2005). Hal ini sesuai dengan definisi yang muncul pertama kali di tahun 1987, pada the UN Brundtland Report, menyebutkan definisi resmi Sustainable Development (konsep pembangunan berkelanjutan) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa kompromi dengan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.  
Manusia, ruang-bangunan, dan lingkungan menjadi bagian kesatuan ekosistem. Sirkulasi yang seimbang antara aktivitas manusia, wujud dan penggunaan ruang, serta sumber daya akan menghasilkan keseimbangan mikro antara manusia, ruang-bangunan, dan lingkungan sekitar. Faktor-faktor ekologi yang diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berlanjut sebagai berikut (Soemarwoto, 2001:161) : 
  1. Terpeliharanya proses ekologi yang esensial. 
  2. Tersedianya sumberdaya yang cukup.
  3. Lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.
Demikian pula halnya dengan pembangunan lingkungan fisik berupa proyek bangunan seperti pemukiman dan fasilitas umum seharusnya juga memperhatikan ketiga faktor tersebut. Pendekatan ekologi dalam perencanaan dan perancangan bangunan menjadi syarat yang semestinya dipenuhi oleh para pelaku pembangunan fisik, karena hubungan sebuah bangunan fisik dengan lingkungan sekitar tidak dapat dihindarkan dan akan saling memberi dampak yang mungkin tidak bersesuaian jika tidak diselaraskan sejak perencanaan awal. 
Para pelaku pembangunan fisik, diantaranya adalah profesional teknik sipil, arsitek, dan desainer interior merupakan pelaku-pelaku yang berperan dalam perwujudan lingkungan fisik yang baru. Desainer interior utamanya, berperan penting dalam menentukan bagaimana manusia berlaku dan memperlakukan lingkungannya. Secara tidak langsung desainer interior berlaku sebagai penentu aturan atau pola perilaku yang membuat manusia berlaku dalam aktivitasnya. 
Eko-interior sebagai pendekatan perancangan yang berorientasi pada hubungan timbal-balik manusia dengan alam sekitarnya yang terbatas, akan menimbulkan konsekuensi keselarasan terhadap alam sekitar (mikrokosmos) sebagai lingkungan terdekat bagi manusia beraktivitas. 
Alam yang terdiri atas materi bumi (lemah), air (banyu), api (geni), dan udara (angin) dapat dijadikan awalan dalam pembahasan mengenai hubungan timbal-balik bangunan (termasuk interior) dengan lingkungannya. Bumi, dalam hal ini akan dibahas sebagai sumber bahan baku yang akan berlanjut pada pembahasan pemilihan bahan bangunan pembentuk maupun pelengkap ruang. Air, dalam hal ini akan dibahas sebagai sumber daya yang harus dihemat dalam penggunaannya, baik ketika proses pembangunan maupun keseharian pola aktivitas di dalam ruang yang terbentuk oleh rancangan interiornya. Api, dalam hal ini akan dibahas sebagai energi (baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui) yang digunakan dalam perancangan sistem interior dalam upaya efisiensi dan konservasi energi. Udara, dalam hal ini akan dibahas teknik sirkulasi dan maintenance dari instrumen penghawaan ruang agar menjadi efektif dan efisien.